Stories


Tak Terbalaskan

            Ibu. 3 huruf yang mempunyai banyak makna. Mempunyai banyak cinta dan kasih sayang didalamnya. Kebenaran dalam tutur katanya, ketulusan nasihatnya. Aku tidak mengada-ada. Memang benar itu yang aku rasakan. Apalagi, saat di Bulan Desember itu.
            “Nak, ayo bangun. Sudah jam berapa ini? Nanti kalau kamu terlambat, kami disetrap di lapangan lagi, lho. Ayo nak, kamu ini kalau tidur susah bangunnya ya.” cerocos ibuku dari dapurnya, yang rela berteriak-teriak demi membangunkanku.. Ah, pagi-pagi sudah mengomel saja ibuku ini, gumamku dalam hati. “Iya, buuuuu” sahutku, sambil berteriak pula. Menyaingi teriakan ibuku.
            Yang namanya ibu itu selalu ngomel ya? Bikin moodku hilang saja. Uh, menyebalkan. Omelku dalam hati sambil  bersiap-siap berangkat sekolah. Kulihat jam digitalku, jam 06.40! Astaga, padahal perjalanan dari rumah ke sekolahku memakan waktu setengah jam. Cepat-cepat aku turun, mengambil roti isi yang ada di piring lalu berpamitan dengan ayah ibuku.
            “Tuh kan, ibu bilang apa tadi. Kamu terlambat bangunnya, Nak. Kamu ini ya, jadi anak kok susah dibilangin.” Pada detik berikutnya.. Braaak! Aku menggebrak meja makan, tas dipunggungku kulempar begitu saja, tak kupedulikan lagi tangisan adik kecilku yang terkejut bukan main mendengarnya, begitu pula ayah dan ibuku. Ekspresi terheran-heran jelas terbentuk diwajah mereka. “Bu, bisa nggak sih sehari saja berhenti mengomel? Luna juga sudah berusaha secepat mungkin untuk berangkat pagi kok, giliran sudah telat, masih saja diomelin. Ibu kenapa sih? Tidak suka sama Luna ya? Kok tiap hari Luna diomelin kayak begini? Luna heran sama ibu!”
            Wajahku panas, bukan main emosi yang kurasakan. Bercampur aduk. Kulihat air mata ibuku yang mulai menetes, lalu menjadi mengalir saking derasnya. Lalu aku pergi, tanpa berpamitan dengan siapapun, cepat aku mengambil motorku yang berada di garasi. Perasaan bersalah pun muncul, sesak berkecamuk didadaku. Ah, kenapa jadi begini. Bisikku dalam hati.
            Kulihat lagi angka dijamku. Astaga, pasti aku dihukum lagi. Seketika dadaku terasa sangat sakit, hingga pada akhirnya, air mataku pun jatuh. Membayangkan betapa hancurnya hari ini. Bermodalkan emosi, kupercepat laju motorku. Sangat cepat, aku salip semua kendaraan dengan lincahnya. Kusalip mobil kijang didepanku, hingga tak sadar ada kendaraan dari arah yang berbeda, mendekat padaku, dengan kecepatan yang setara denganku. Lalu.. Ciiiiiit… Braaak! Samar kulihat orang-orang mendekat padaku. Perih kurasakan dikepalaku. Ku usap, lumuran darah berceceran ditanganku. Lalu.. gelap.
            “Nak, maafkan ibu. Cepat bangun, Nak. Ibu yang salah.” Samar-samar kudengar suara ibuku. Lalu mendengar ayahku yang sedang mendoakanku. Kucoba untuk membuka mataku, perlahan. Pusing sekali rasanya. “Ibu..” suara lirihku memanggil ibuku.
“Alhamdulillah ya Allah, akhirnya kau siuman, Nak. Sudah 3 hari kau tidak sadarkan diri.” Ibu menyambutku penuh haru, begitu pula ayah dan adik kecilku. Kulihat sekelilinhgku. Rumah sakit. Ya, disinilah sekarang aku berada. Teringat kejadian pagi itu, air mata langsung menyergapku.
            “Maafkan Luna, Bu. Luna anak yang durhaka. Tidak mau mendengar kata-kata Ibu. Andai saja pagi itu Luna mendengarkan kata-kata ibu, pastilah Luna akan selamat. Tidak mengalami kecelakaan seperti ini. Ibu, Ayah, Adik, maafkan kesalahan Luna ya.” Lalu kupeluk ibuku. Sangat lama. Kurasakan nyaman yang selama ini tak pernah kurasakan. Dilanjut ayahku. Lalu adik kecilku.
            Ya, pelajaran untukku. Ibu adalah penopang hidupku, pedoman dan petunjukku. Surga ada ditelapak kakinuya. Mulai sekarang, aku berjanji. Tidak akan membantah kata-kata ibu l;agi.
Dan aku tau, kasih sayang ibuku yang begitu banyak tak akan bisa terbalaskan olehku.
Sekian.



Sayap-Sayap Pelangi

            Di sebuah pinggiran kota, tinggallah dua kakak beradik. Sang kakak, perempuan, bernama Hanum Sae. Dan adiknya, laki-laki, bernama Manah Sae. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mereka meneruskan usaha toko bunga milik orang tuanya yang meninggal lima tahun lalu. Mereka bekerja dengan giat, hingga toko sekaligus kebun bunga bernama ‘Sekar Sae’ itu tak pernah sepi.
            Sambil memilih bunga yang hendak dibeli, para pengunjung mengagumi kepak sayap beragam  kupu-kupu yang beterbangan di kebun  itu. Orang yang sedang berduka akan berbahagia setelah melihat pemandangan itu. Tak ada satu kebun bunga pun yang dapat menandingi keindahan kebun mereka.
            Ketenaran toko bunga itu tidak membuat iri para tetangga, sebab kakak-beradik itu amat baik hati. Bagi mereka Hanum Sae laksana ratu  kupu-kupu dengan paras dan budinya yang elok. Sedangkan Manah Sae bagaikan panglima kupu-kupu, yang gagah namun lembut hati dan begitu menyayangi kakaknya.
            Pada suatu hari, Hanum Sae tiba-tiba menderita sakit parah. Berbagai tabib telah didatangkan. Namun tetap saja penyakitnya tak dapat disembuhkan. Orang-orang kehilangan senyum tulus Hanum Sae. Manah Sae menggantikan tugas kakaknya dengan gundah hingga kebunnya terlantar.
            Suatu malam, Manah Sae bermimpi. Dalam  mimpinya, ia diperintah untuk mencari kupu-kupu  Mutiara di lembah Sayap Lembut,yang terletak di ujung negeri itu. Manah Sae harus mengumpulkan dua ratus pasang sayap kupu-kupu Mutiara, untuk direbus sebagai obat kakaknya.
            Tak ada seorangpun yang pernah melihat lembah Sayap Lembut, karena lembah itu dikelilingi oleh jurang curam yang mengerikan. Mengetahui bahwa Manah Sae akan pergi ke Lembah Sayap Lembut, para tetangga dan pelanggan pun berjanji akan menjaga kakaknya dengan sungguh-sungguhh.
            Demikianlah, Manah Sae menempuh perjalanan berat selama enam hari. Dengan tekad bulat, ia menuruni jurang yang curam itu. Ternyata keindahan lembah itu bagaikan dalam mimpi. Manah Sae tertegun menyaksikan kupu-kupu yang paling elok terbang mendekat kearahnya.
            Ratu kupu-kupu itu berbisik lembut padanya, “Kau pasti Manah Sae. Akulah  yang datang dalam mimpimu waktu itu. Aku telah mendapat laporan dari rakyatku yang sering berkunjung ke kebun kalian, bahwa kakakmu Hanum Sae yang cantik dan berbudi baik itu sakit keras. Bukan hanya kalian manusia yang sedih, tapi kami juga. Kau dan kakakmu telah  merawat kebun dengan penuh cinta, hingga menjadi surga kedua bagi kami, setelah lembah ini.
            Kebun itu telah membahagiakan banyak orang. Penyakit kakakmu membuat keindahan kebun kalian hilang. Maka, ambillah dua ratus sayap kupu-kupu Mutiara sebagai obat untuk kakakmu. Jangan khawatir, mereka bersedia mengorbankan nyawa asal kakakmu sembuh kembali.”
            Manah Sae bersujud dengan air mata bercucuran. Ia begitu terharu atas kebaikan Ratu Kupu-Kupu dan rakyatnya. Maka ia pun pulang dengan diiringi dua ratus ekor kupu-kupu Mutiara. Selama ini kupu-kupu Mutiara tak dikenal manusia karena belum pernah meninggalkan lembah Sayap Lembut.
            Anehnya, saat mendaki jurang yang nyaris tegak lurus itu, Manah Sae merasa tubuhnya amat ringan. Hanya dalam waktu beberapa jam, ia pun telah mencapai puncak jurang. Ia membungkuk hormat pada Ratu Kupu-Kupu sekali lagi dan bergegas pulang.
            Setiba di rumah, Manah Sae segera menemui kakaknya. Gadis tersenyum mengetahui keberhasilan adiknya. Ia meminta adiknya merebus air. Ia ingin segera sembuh dan merawat kebun bunga yang terbengkalai. Tapi, sebelumnya ia ingin melihat kupu-kupu tersebut. Maka Manah Sae membuka pintu kamar, memberi isyarat para kupu-kupu untuk masuk.
            Kupu-kupu melayang-layang rendah di atas tubuh dan kepala Hanum Sae. Air mata gadis itu mengalir perlahan saat ia berkata, “Adikku, tak mungkin aku sanggup meminum rebusan sayap kupu-kupu Mutiara. Mereka elok tiada tara dan aku tak mungkin membunuh mereka.”
“Kakak tidak membunuh, sebab mereka menolong kita dengan ikhlas.” Hanum Sae bersikeras tak  mau merebus kupu-kupu Mutiara.
            Sekarang bukan hanya adiknya dan orang-orang yang berkumpul saja yang merasa bingung. Para kupu-kupu juga, sebab mereka takut Hanum Sae akan semakin parah.
            Tak ada yang dapat membujuk Hanum Sae, termasuk Ratu Kupu-Kupu yang meninggalkan lembah Sayap Lembut untuk menemuinya. Semua putus asa, tak tahu apalagi yang harus dilakukan. Akhirnya Ratu Kupu-Kupu mengambil jalan tengah. Setiap malam, Kupu-Kupu Mutiara akan mengusapkan sayap-sayap mereka yang lembut kesekujur tubuh Hanum Sae. Dengan demikian  ia akan dapat bertahan lebih lama.
            Demikianlah, tiap malam kupu-kupu  Mutiara mengusap tubuh Hanum Sae sambil menangis. Hanum Sae bertahan selama dua bulan, hingga suatu malam  ia memanggil adiknya, “Adikku, aku sudah tak kuat lagi. Panas tubuhku telah menyebabkan kupu-kupu Mutiara mati perlahan-lahan. Lebih baik aku pergi supaya tidak mengurangi kecantikan mereka. Peliharalah kebun kita, sebagai ucapan terima kasih pada Ratu Kupu-Kupu dan  rakyatnya.
            Hanum Sae menghembuskan nafas terakhir, diirringi isak tangis orang-orang yang mencintainya. Para kupu-kupu pulang dengan perasaan hampa. Tapi dua minggu kemudian, di kebun itu datang seekor kupu bersinar dengan lembut dan elok. Sayapnya bersinar bagai lampu kecil, membuat semua orang terpana.
            Tiap pagi kupu-kupu yang rupawan itu datang ke kebun. Taulah orang bahwa kupu-kupu itu adalah jelmaan Hanum Sae. Sebab ia selalu terbang di sekitar Manah Sae dan membelainya dengan sayapnya. Kini tiada lagi yang bersedih. Sebab Hanum Sae tak pernah meninggalkan mereka. Kelembutan budi Hanum Sae memancar bagai pelangi dari sayap mungilnya.



            

Terbit Senja Temaram

                   Matahari pagi itu masih malas-malasan keluar dari singgasananya. Tidak dengan aku, bagaikan anak rantau yang sudah sangat siap pulang ke kampung halamannya. Tas punggung yang sedari tadi sudah kugendong, seragam pramuka lengkap bersama atribut-atributnya  dan barang-barang bawaanku juga sudah siap untuk aku bawa berkemah selama empat hari. Kemah Mahabhakti. Kegiatan sekolah yang wajib aku lakoni, mau tidak mau, suka tidak suka. 
            “Eling waspada terus nduk, dzikir karo ndonga. Uluk salam ojo lali…” Rentetan nasihat mamaku yang terus aku dengarkan dan aku ‘iya’ kan. Sedikit terharu dengan momen semacam ini. Setelah berpamitan, aku berlalu menghampiri teman-temanku. Mempersiapkan semuanya, menunggu keberangkatan ke buperBismillahirrahmanirrahim..
            “Kata anak pramuka, kita diturunin di jalan, lho!”  Dengan suara lantang tiba-tiba Jugi berteriak memecah lamunanku.
“Ah, yang bener aja?” Aku pun ikut heboh.
“Iya, katanya jalan ke bupernya jauh, nanjak juga. Enggak ngebayangin capeknya kayak gimana.” Keluh kesah mulai meriuhkan suasana di truk yang kami tumpangi saat itu, cukup menambah kesumpekan.
            Semua telah berkumpul di tanah lapang penuh rerumputan nan dikelilingi pegunungan. Sungguh pemandangan yang asri untuk dijamah oleh mata. Hitung-hitung untuk membayar kelelahan dan kejenuhan selama perjalanan tadi. Jatuh pula rintik-rintik hujan yang tidak diharapkan kedatangannya. “Semua mulai berkumpul dengan sangganya masing-masing. Setelah ini ada perjalanan bhakti untuk menuju ke bumi perkemahan. Tetapi sebelumnya, kakak-kakak harus menjawab pertanyaan rebutan agar dapat melakukan perjalanan bhakti lebih dulu.” teriak Kak Nino dengan Toa di tangannya. Dan ya.. Sanggaku berhasil menjawab pertanyaan setelah 3 sangga yang sudah lebih dulu berangkat.
“Semangat teman-temaaaaaaan!” Teriakku penuh semangat pada teman-temanku satu sangga. “Harus semangat kawaaaaan!” Teriak temanku yang lain tidak kalah semangat. Di situlah awal perjalanan kami. Kami awali dengan langkah lebar tanpa ragu, walaupun kami tahu bahwa perjalanan kami tidak akan seperti jalan tol yang bebas hambatan. Bismillah, beri kami semua kekuatan ya Allah.. Bisikku dalam hati.
            Entah berapa kilo berat ransel sangga yang kami bawa. Tidak jauh berbeda dengan menggendong anak berumur 3 tahun. Lebih lagi dengan jalanan yang menanjak dan berkelok-kelok. Sungguh seperti sedang melakukan perjalanan di padang pasir. Di bawah terik matahari yang kian bergairah memancarkan sinarnya. Membuat emosi kami bagai dididihkan dalam suhu tertinggi. Ingin kami merangkak saja waktu itu. Terlebih persediaan minum yang kami bawa nyaris habis. Kering tenggorokan kami, bibir kami bagai tanah kala kemarau panjang. Dzikir dan doa selalu memenuhi relung hatiku, meminta kekuatan dan perlindungan untuk semua.
            Seakan telah menancapkan bendera merah putih di puncak gunung, dengan bangga kami memijakkan kaki ke bumi perkemahan. Jika diingat-ingat kembali, ternyata kami cukup tangguh dan hebat. Telah melalui berbagai rintangan, telah meluapkan emosi dengan keceriaan sehingga kami semua berhasil selamat melakukan perjalanan bhakti.
Ditegakkin dong Nay tongkatnya. Ini jadi nggak kokoh tendanya kalo kamu miring-miringin kayak gitu.”
“Aku nggak miring-miringin tongkatnya. Mbok diliat dulu to, Fik.” 
Afik yang saat itu tengah bad mood dengan nada tinggi menegur temanku Naila yang menyahut pula dengan nada yang tidak kalah tinggi. Menegangkan betul suasana saat itu. Diselimuti dengan rasa lapar, gerah, dan lelah.
Udah udah, nggak usah saling emosi. Cuman nambah capek nanti.” Kataku melerai mereka berdua. Selanjutnya, kami menenangkan hati kami masing-masing. Menjaga suasana agar tidak menegang berkelanjutan.
            Langit mulai gelap, kami semua bersiap-siap menyiapkan makan malam. Namun..
Lho, bahan makanan kita di mana?” Tanya Jugi si ketua sangga tiba-tiba mengejutkan hati kami.
Lah, tadi belum diambil to? Coba dicari dulu.” Azizah menenangkan kami semua yang mulai panik mencari kesana-kemari. Dan benar saja, tidak kami temukan barang yang kami cari.
            Aku, Afik dan Nani langsung pergi ke sekretariat yang menyimpan semua barang sangga yang belum diambil.
“Ada yang bisa dibantu, Dik?” Tanya Mbak Alfa.
“Bahan makanan sangga kita hilang, Mbak. Padahal itu bahan makanan untuk 4 hari kedepan” Bebarengan Aku dan Afik menjawab dengan kompak.
            Cukup lama kami bertiga menunggu kakak-kakak sekretariat yang tengah mencari barang kami. Campur aduk perasaanku saat itu, tidak bisa membayangkan kami satu sangga akan makan apa jika memang bahan makanan itu semua hilang.
   Sangat lama, dan cenderung kami bertiga hanya ditelantarkan begitu saja. Mereka sibuk membuat tenda dan membereskan barang-barang mereka. Kami pun mencari sendiri. Dan.. Kami temukan tas plastik hitam putih, seperti tas belanjaan sangga kami. Namun setelah aku buka, dan aku membaca nama sangga pemilik tas itu, bukan. Bukan milik sanggaku. Runtuh harapan, kami bertiga pun menangis kecewa. Melihat kami menangis, Mbak Arum, salah satu sangker Mahabhakti menanyakan apa yang membuat kami menangis. Setelah mengetahui masalah kami, entah mengapa banyak sangker yang mulanya tidak perhatian dengan kami, menjadi ikut membantu kami untuk mencari. Dan yang paling membuat aku terenyuh, saat..
“Dik, mbok kamu sama temen-temenmu maem dulu aja. Keliatan melas kalian. Kasian. Nih, maem ini dulu aja buat ganjel perut.” cerocos Mas Adit sambil menyodorkan Biskuit Malkist Abon dari ranselnya. Dan campur aduk lagi perasaanku saat itu. Jantungku juga berdetak kencang. Ah, entahlah..
            “Kalian Perintis E? Ini barang kalian bukan?” tanya Mbak Arum kepada kami yang sedari tadi panik.
“Aaaaaaaaaaa.. Iya mbak bener banget! Alhamdulillah, makasih banget Mbak Arum udah nyariin.” Tangis haru pun terpecah, sedikit lebay memang. Tapi itulah luapan rasa syukurku dan sanggaku. Lengkap sudah semua perasaan. Pagi hingga malam. Dan, hingga pagi lagi..
            Sanggaku suka bergotong royong, bantu-membantu. Kompak dan kekeluargaan. Apalagi, dengan urusan makan. Sangat kekeluargaan. Kerap kali kami makan satu panci atau satu wajan berdelapan. Sungguh nikmat rasanya. Disaat perut kami keroncongan, setelah melakukan banyak kegiatan, sibuk kesana-kemari dan membereskan tenda setiap harinya. Lalu disuguhkan dengan makanan yang bisa dibilang sangat sederhana, apa adanya. Namun, karena kami makan bersama dengan suka cita dan pemandangan pegunungan nan elok yang menambah selera makan, makanan sederhana pun sudah sangat enak disantap oleh kami berdelapan.
            Tidak sempat aku merasakan detak-detak cinta di sana. Hanya dapat memandangi kawan-kawanku yang sedang dimabuk cinta. Masa remaja, aku pun begitu. Tapi tidak di sekolahku ini. Cintaku jauh dari pandangan mataku, tapi selalu dapat kurasakan rasa rindunya padaku. Terlebih saat aku akan pergi berkemah. Malam sebelum keberangkatanku, Ia menelfonku. Ia memang tidak seromantis laki-laki lain. Tapi, dengan kata-katanya yang sederhana namun tulus, selalu dapat membuat aku terharu. Ini bukan fiksi, sungguh aku merasakannya malam itu.
            “Jaga diri ya, disana dzikir sama doa terus, jangan nglamun. Kemana-mana harus bareng temen-temenmu. Kuatir bener aku sama kamu. Nyesek. Baru ini juga ngrasa kangen banget sama kamu.” Itu kata-kata dia. Dia persis mamaku. Nglindungin, ngejaga bener. He is my guardian angel. Aku memang bukan anak cinta, aku juga tidak terlalu mulu-mulu dengan cinta yang aku jalani ini. Mengalir saja apa adanya, mengikuti arus. Berharap akan bermuara di dermaga cinta janji setia sehidup semati.
            Setiap hari ada saja yang menitip salam ke Radio Gambis FM. Radio dadakan para sangker. Geli ketika mendengar salam-salam cinta dan rindu dari teman-temanku. Padahal, orang yang mereka beri salam juga mengikuti kemah. Apa guna? Menunjukkan cinta mereka ke publik? Menunjukkan rindu mereka? Bagaimana rinduku yang berhubungan jarak jauh? Sedangkan mereka yang dekat saja terus-menerus menitipkan salam. Ya.. Itulah indahnya menjadi remaja. Aneh tetapi mengasyikkan, mengesankan.
            “Kak, ayo bangun. Solat tahajud.” Sambil menyorotkan lampu senter ke mataku. Langsung ke arah mataku. Mata yang semula dalam keadaan istirahat langsung disorotkan lampu senter yang sangat terang. Sakit luar biasa. Dengan hati sebal, langsung aku bergegas memakai kerudung, celana panjang, dan jaket. Bersama teman-temanku mengambil air wudhu lalu berbaris membentuk shaf yang rapi. Masih dengan mata yang menggelembung, akibat kurang tidur dan bangun dari tidur yang bisa dikata mendadak.
            “Allahuakbar..” Pak Nawawi selaku imam mulai mengawali solat tahajud. Jujur, saat itu aku sangat tidak tahan dengan kantukku. Sekuat tenaga aku menahan kantuk, khusyu’ menjalankan sholat tahajud. Namun, apa mau dikata. Bukan mauku untuk tidur dalam sholatku. Astaghfirullahaladzim. Selalu aku memohon ampun kepada Allah atas kesalahanku ini.
            Sholat Tahajud rakaat 3 dan 4, kulihat teman-temanku yang juga sama dengan aku. Mata menyipit, mulut terbuka, muka memelas karena mengantuk.
“Nad..” aku menengok ke sumber suara. Suara Fariza.
“Apa?” sahutku.
“ Kamu tidur?” sekuat tenaga aku manahan kegelianku terhadap pertanyaan yang Fariza lontarkan. Hei, sudah sangat jelas mataku terbuka dan aku menyahuti Fariza. Sudah pasti aku tidak tidur. Aku hanya mengangguk menjawab pertanyaan Fariza. Sungguh kantuk tidak jauh beda dengan orang mabuk. Setengah sadar setengah tidak.
            Pak Nawawi berceramah. Memimpin dzikir pula. Namun temanku, Nani dan Fariza, sudah ngambruk. Dengan pulasnya mereka tidur berdampingan. Aku hanya memandangi mereka dengan wajah polos tanpa dosa. Dan pada menit berikutnya, aku mengikuti jejak mereka. Tidur pulas, menjelajahi mimpi.
            Pagi harinya, kami satu sangga tertawa terbahak-bahak mengingat kejadian-kejadian saat kami semua sholat tahajud. Betapa unik ketika tiba-tiba semua langsung merebahkan tubuh di atas terpal biru milik madrasah. Dan paling lucu ketika Aku, Afik, Fariza dan Azizah tidur berdamping-dampingan sehingga dari kejauhan layaknya ikan teri yang sedang berjemur di bawah terik matahari. Dan kami berempat adalah orang terakhir yang meninggalkan tempat sholat itu. Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan mimpi kami di tenda kami sendiri hingga siang. Sungguh tak ada dosa kami melanjutkan tidur kami.
            SMA adalah masa terindah. Masa remaja, masa di mana aku mulai matang. Dengan masa depanku, dengan cita dan cintaku. Mahabhakti pula yang menyisakan sedikit rasa suka itu kepada dia. Aku hanya suka rupanya yang sedap dipandang mata. Bukan cinta yang sama seperti yang aku berikan kepada seseorang nan jauh disana.
            Bicara acara api unggun, sangat seru memang. Satu-satunya acara yang menurutku jelas alur acaranya. Para sangker juga terlihat asyik ketika itu. Mengajak kami berjoged. Yang disayangkan, hanya kelasku yang berpartisipasi meramaikan suasana malam itu. Tidak dengan kelas lain, entah mengapa. Mereka hanya diam, malu memang hanya bersorak sendiri. Tetapi memang itu yang kelasku rasakan, seru.
            Banyak sekali kenangan-kenangan yang aku dapatkan. Pelajaran moral, apapun itu. Aku juga menemukan arti persahabatan, dan aku juga merasakan kekeluargaan yang sangat kental tercipta di sanggaku. Kemandirian pula aku dapatkan, semua aku lakukan sendiri. Lain sekali seperti saat aku di rumah. Kadang juga ada rasa rindu dengan keluargaku saat itu. Namun sesampainya aku di rumah, mencuatlah rasa ingin kembali lagi ke momen saat dimana aku selalu bersama dengan teman-temanku.
Mahabhakti akan selalu terkenang, terima kasih sudah memberi momen-momen indah dalam hidupku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cute Sprout Pot